TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA.....

Rabu, 20 Oktober 2010

Padi System of Rice Intensification (SRI)



APA ITU SRI ?
Adalah Cara Budidaya Tanaman Padi yang intensif dan efisien dengan proses management system perakaran dengan berbasis pada pengelolaan : Tanah, tanaman dan Air (Melak Pare Nu Tulaten) .

GAGASAN SRI

Tanaman padi sebenarnya mempunyai potensi yang besar untuk menghasilkan produksi dalam tarap tinggi, ini hanya akan dicapai bila kita membantu tanaman dengan kondisi baik untuk pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat dilakukan melalui proses pengelolaan : Tanah, Tanaman dan Air.

DASAR PEMAHAMAN PRAKTEK SRI

Tanaman padi sawah berdasarkan praktek SRI ternyata bukan tanaman air tetapi dalam pertumbuhan membutuhkan air, dengan tujuan menyediakan oxygen lebih banyak di dalam tanah, kemudian tidak tergenang akar akan tumbuh dengan subur dan besar. Maka tanaman dapat menyerap nutrisi/makanan sebanyak-banyaknya.

BAGAIMANA BUDIDAYA TANAMAN PADI CARA SRI ?

Persemaian

Untuk SRI dapat ditanam pada pipiti (Besek), kotak, plastik atau nampan hal ini memudahkan untuk pengamatan dan seleksi benih yang terus-menerus dapat dilakukan. Kebutuhan pipiti adalah 60-70 buah ukuran 15 x 15 Cm per 0,14 Ha (100 bata) (420 – 490 buah per Ha). Tanah dalam pipiti sebagai media tumbuh benih dicampur dengan pupuk organik dengan perbandingan 1 : 1. Persemaian dapat disimpan di halaman rumah. Kebutuhan benih per 100 bata (0,14 Ha) adalah 0,7 – 1 Kg (4,9 – 7 Kg per Ha).

Cara Tanam

Benih ditanam pada umur 7 – 10 hari setelah semai. Jumlah bibit perlubangnya hanya satu (tanam tunggal), dasar pemikirannya adalah ketika bibit ditanam banyak maka akan bersaing satu sama lain dalam hal nutrisi, oxygen dan sinar matahari. Bibit ditanam dangkal dan perakaran horizontal seperti hurup L, hal ini dilakukan jika akar tekuk ke atas maka bibit memerlukan energi besar dalam memulai pertumbuhan kembali, dan akar baru akan tumbuh dari ujung tersebut.

Jarak Tanam

Berdasarkan pengalaman SRI, baik jika ditanam dengan jarak tanam lebar, antara lain 25 x 25 cm, 27 x 27 cm atau 30 x 30 cm. Dengan jarak tanam lebar dapat meningkatkan jumlah anakan produktif, karena persaingan oxygen, energi matahari dan nutrisi/makanan semakin berkurang.

Pemupukan

Pupuk yang digunakan adalah pupuk organik, berasal dari bahan organik seperti hijauan (jerami, batang pisang dan sisa tanaman lainnya, kotoran hewan : kambing, sapi, ayam, kelinci dan kerbau), serta limbah organik. Bahan-bahan tersebut lebih baik dikomposkan. Untuk memperkaya nutrisi yang dibutuhkan tanaman, untuk membantu mempercepat penghancurannya (Dekomposisi)sebaiknya dikembangkan proses permentasi dan pengelolaan Micro Organisme Lokal (MOL) yang terbuat dari tulang-tulang ikan, limbah kotoran hewan, buah-buahan, sebagai campurannya menggunakan air beras, air kelapa dan sebagai bahan pengawetnya dicampur air tebu, air nira, lahang/gula yang fermentasi selama 15 hari. Kebutuhan pupuk organik adalah 5 – 7 ton per Ha dengan catatan jerami yang ada di lahan dikembalikan ke dalam tanah.

Pengelolaan Air Dan Penyiangan

Umur padi vegetatif keadaan lahan dalam kondisi lembab (air kapasitas lapang), Sebelum penyiangan sebaiknya lahan digenangi 2 – 3 cm beberapa jam untuk memudahkan penyiangan pada umur 7 – 10 hari setelah tanam. Selanjutnya penyiangan dilakukan selang waktu sepuluh hari sebanyak minimal 3 kali penyiangan. Dengan pengelolaan air dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan penyiangan. Pada saat anakan maksimum kurang lebih umur tanaman 47 –55 hari setelah tanam sebaiknya lahan dalam kondisi kering selama 10 hari. Hal ini dimaksudkan untuk menghambat proses pertumbuhan vegetatif dan menghemat keadaan nutrisi untuk tidak digunakan dalam pertumbuhan tunas yang tidak produktif dan menghambat tanaman tidak terlalu tinggi. Dan setelah sepuluh hari dikeringkan, kondisi lahan kembali macak – macak selama masa pertumbuhan malai, bulir, pengisian bulir hingga bernas, selanjutnya air dikeringkan kembali hingga saatnya panen.

Pengendalian Hama

Pada saat terjadi perubahan populasi serangga menjadi populasi yang merusak dan merugikan (hama), dilakukan dengan jurus – jurus konsep PHT (Pengendalian Hama Terpadu) secara utuh dengan berprinsip pada : (1) Budidaya tanaman sehat, (2) Pendayagunaan fungsi musuh alami, (3) Pengamatan berkala dan (4) Petani ahli PHT serta tidak menggunakan pestisida sintetis (buatan pabrik).

Produksi

Berdasarkan kajian oleh petani/kelompok tani di beberapa Kabupaten di Propinsi Jawa Barat, hasil produksi SRI 6,8 – 9,2 ton/ha GKP. Dibeberapa studi yang dilakukan di Kabupaten Tasikmalaya (Kec. Parungponteng) muncul produksi 12, 48 ton/ha GKP, Kabupaten Ciamis (Kec. Banjarsari) 13,76 ton/ha GKP, Kabupaten Garut (Kec. Bayongbong) 12,00 ton/ha GKP .

BAGAIMANA DAMPAK PET DAN SRI ?

Sejalan dengan proses pembelajaran yang mempunyai harapan peningkatan produktivitas lahan maka telah diperoleh beberapa dampak terhadap sikap dan perilaku yang ditunjukkan beberapa kelompok tani dari berbagai daerah di Jawa Barat dari alumni pelatihan PET dan SRI diantaranya :

1.Kemampuan untuk menyediakan sarana produksi (kompos) dan bahan organik lainnya

2.Ada kemampuan untuk mengembangkan, mengkaji dan mengevaluasi Mikro Organisme Lokal (MOL)

3.Pengembangan proses pembelajaran PET dan SRI yang dilakukan secara swadaya

4.Pemanpaatan potensi lokal lebih berkembang

5.Pengembangan usaha tani dan mendorong sektor peternakan dan perikanan

6.Pemberdayaan petani di bidang pemasaran lebih berkembang khususnya produk beras organik

7.Pengendalian hama terpadu terselenggara lebih nyata

8.Agroekosistem khususnya padi sawah lebih terjamin kesehatan dan kelestariannya

9.Efisiensi dan efektifitas sumberdaya air

10.Prilaku dan sikap telah menunjukkan kearipan lokal yang mampu mendukung kekuatan ekonomi dan sumberdaya lokal sebagai wujud dukungan terhadap otonomi daerah.

Sabtu, 18 September 2010

Pengaruh Agroforestri Terhadap Sifat Fisik Tanah

Tanah sangat penting artinya bagi usaha pertanian karena kehidupan dan perkembangan tumbuh-tumbuhan dan segala mahluk hidup di dunia sangat memerlukan tanah. Segala tumbuh-tumbuhan dan hasilnya yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia sepanjang masa akan sangat tergantung pada keadaan tanah selain iklim dan air. (Mulyani, 2008)

Tanah merupakan suatu lapisan kerak bumi yang tidak padu dengan ketebalan yang berbeda dengan bahan-bahan yang ada dibawahnya, yang juga tidak baku dalam warna, bangunan fisik, struktural, susunan kimia, sifat biologis, proses kimia atau reaksinya (Marbut, 1940). Menurut Buckman dan Brady (1969), tanah adalah suatu tubuh alam yang disebabkan oleh hancuran mineral dan percampuran mineral dengan bahan organik yang menutupi permukaan bumi dan mengandung sejumlah udara dan air, memberikan kekuatan mekanik, serta memberikan sebagian makanan kepada tumbuhan. Selanjutnya dikatakan bahwa tanah mineral terdiri atas empat komponen utama, yaitu bahan mineral, bahan organik, air dan udara.

Lapisan tanah atas adalah bagian yang paling cepat dan mudah terpengaruh oleh berbagai perubahan dan perlakuan. Kegiatan selama berlangsungnya proses alih-guna lahan segera mempengaruhi kondisi permukaan tanah. Penebangan hutan atau pepohonan mengakibatkan permukaan tanah menjadi terbuka, sehingga terkena sinar matahari dan pukulan air hujan secara langsung. Berbagai macam gangguan langsung juga menimpa permukaan tanah, seperti menahan beban akibat menjadi tumpuan lalu lintas kendaraan, binatang dan manusia dalam berbagai kegiatan seperti menebang dan mengangkut pohon, mengolah tanah, menanam dan seterusnya. (Widianto, 2003)

Dampak langsung dari berbagai kegiatan tersebut adalah menurunnya porositas tanah yang ditandai oleh peningkatan nilai berat isi. Tanah (umumnya lapisan atas) menjadi mampat karena ruangan pori berkurang (terutama ruang pori yang berukuran besar). Berkurangnya ruangan pori makro mengakibatkan penurunan infiltrasi (laju masuknya air ke dalam tanah), penurunan kapasitas menahan air dan kemampuan tanah untuk melewatkan air (daya hantar air). (Widianto, 2003)

Sistem agroforestri pada umumnya dapat mempertahankan sifat-sifat fisik lapisan tanah atas sebagaimana pada sistem hutan. Sistem agroforestri mampu mempertahankan sifat-sifat fisik tanah melalui:

  • Menghasilkan seresah sehingga bisa menambahkan bahan organik tanah
  • Meningkatkan kegiatan biologi tanah dan perakaran
  • Mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dalam lapisan perakaran

(Widianto, 2003)

Konsepsi agroforestri dirintis oleh suatu tim dari Canadian International Development Centre, yang bertugas untuk mengindentifikasi prioritas-prioritas pembangunan di bidang kehutanan di negara-negara berkembang dalam tahun 1970-an. Oleh tim ini dilaporkan bahwa hutan-hutan dinegara tersebut belum cukup dimanfaatkan. Penelitian yang dilakukan dibidang kehutananpun sebagian besar hanya ditujukan kepada dua aspek produksi kayu, yaitu eksploitasi secara selektif di hutan alam dan tanaman hutan secara terbatas.

Menurut International Council for Research in Agroforestry, mendefinisikan agro forestri sebagai berikut :

" Suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanamaan (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yanag sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat". (King dan Chandler, 1978)

Menurut Lundgren (1982), definisi agroforestri seyogyanya menitikberatkan dua karakter pokok yang umum dipakai pada seluruh bentuk agroforestri yang membedakan dengan sistem penggunaan lahan lainnya:

1. Adanya pengkombinasian yang terencana/disengaja dalam satu bidang lahan antara tumbuhan berkayu (pepohonan), tanaman pertanian dan/atau ternak/hewan baik secara bersamaan (pembagian ruang) ataupun bergiliran (bergantian waktu);

2. Ada interaksi ekologis dan/atau ekonomis yang nyata/jelas, baik positif dan/atau negatif antara komponen-komponen sistem yang berkayu maupun tidak berkayu.

Jumat, 04 Juni 2010

Animal Manures



for Increasing Organic Matter and
Supplying Nutrients

The quickest way to rebuild a poor soil is to practice
dairy farming, growing forage crops, buying . . .
grain rich in protein, handling the manure properly,
and returning it to the soil promptly.
— J. L. HILLS, C. H. JONES, AND C. CUTLER, 1908

Once cheap fertilizers became widely available after World War II, many farmers, extension agents, and scientists looked down their noses at manure. People thought more about how to get rid of manure than how to put it to good use. In fact, some scientists tried to find out the absolute maximum amount of manure that could be applied to an acre without reducing crop yields. Some farmers who didn’t want to spread manure actually piled it next to a stream and hoped that next spring’s flood waters would wash it away. We now know that manure, like money, is better spread around than concentrated in a few places. The economic contribution of farm manures can be considerable.
The value of the nutrients in manure from a 70- cow dairy farm may exceed $7,000 per year; manure from a 50-sow farrow-to-finish operation is worth about $4,000; and manure from a 20,000- bird broiler operation is worth about $3,000. The other benefits to soil organic matter build-up, such as enhanced soil structure and better diversity and activity of soil organisms, may double the value of the manure. If you’re not getting the full fertility benefit from manures on your farm, you may be wasting money.

Animal manures can have very different properties, depending on the animal species, feed, bedding, and manure- storage practices. The amounts of nutrients in the manure that become available to crops also depend on what time of year the manure is applied and how quickly it is worked into the soil. In addition, the influence of manure on soil organ matter and plant growth is influenced by soil type. In other words, it’s impossible to give blanket manure application recommendations. They need to be tailored for every situation.

We’ll deal mainly with dairy cow manure, because there’s more information about its use on cropland. We’ll also offer general information about the characteristics and uses of some other animal manures.

MANURE HANDLING SYSTEMS
Solid versus Liquid
The type of barn on the farmstead frequently determines how manure is handled on a dairy farm. Dairy-cow manure containing a fair amount of bedding, usually around 13 to 20 percent dry matter, is spread as a solid. This is most common on farms where cows are kept in individual stanchions. Liquid manure-handling systems are common where animals are kept in a “free stall” barn with little bedding. Liquid manure is usually in the range of from 2 to 10 percent dry matter (90 percent or more water). Manures with characteristics between solid and liquid are usually referred to as semi-solid or slurry, depending on the method of handling.

Composting manures is becoming an increasingly popular option for farmers. By composting manure you help stabilize nutrients, have a smaller amount of material to spread, and have a more pleasant material to spread (and if neighbors have complained about manure odors, that might be a big plus). Although it’s easier to compost manure that has been handled as a solid, some farmers are separating the solids from liquid manure and then irrigating with the liquid and composting the solids.

Storage of Manure
Researchers have been investigating how best to store manure to reduce the problems that come with year-round manure spreading. Storage allows the farmer to apply manure when it’s best for the crop and during appropriate weather conditions. This reduces nutrient loss from the manure caused by water runoff from the field. However, significant losses of nutrients from stored manure also may occur. One study found that, during the year, dairy manure stored in uncovered piles lost 3 percent of the solids, 10 percent of the nitrogen, 3 percent of the phosphorus, and 20 percent of the potassium. Covered piles or well-contained liquid systems, which tend to form a crust on the surface, do a better job of conserving the nutrients and solids than unprotected piles. Poultry manure, with its high amount of ammonium, may lose 50 percent of its nitrogen during storage as ammonia gas volatilizes, unless precautions are taken to conserve nitrogen.

CHEMICAL CHARACTERISTICS
OF MANURES
A high percentage of the nutrients in feeds passes right through animals and ends up in their manure. Over 70 percent of the nitrogen, 60 percent of the phosphorus, and 80 percent of the potassium in feeds may be available in manures for use on cropland. In addition to the nitrogen, phosphorus, and potassium contributions given in table 9.1, manures also contain significant amounts of other nutrients, such as calcium, magnesium, and sulfur. In regions where the micronutrient zinc tends to be deficient, there is rarely any deficiency on soils receiving regular manure applications.

Differences in feeds, mineral supplements, bedding materials, and storage systems make manure analysis quite variable. Yet, as long as feeding, bedding, and storage practices remain unchanged on a given farm, manure characteristics will be similar from year to year. The major difference among all the manures is that poultry manure is significantly higher in nitrogen and phosphorus than the other manure types. This is partially due to the difference in feeds given poultry versus other farm animals.

The relatively high percentage of dry matter in poultry manure is also partially responsible for the higher analyses of certain nutrients, when expressed on a wet ton basis.
It is possible to take the guesswork out of estimating manure characteristics; most soil-testing laboratories will now analyze manure. Manure analysis should become a routine part of the soil fertility management program on animal- based farms.
( Building Soil For Better Crops - Fred Magdoff and Harold van Es)

Kamis, 03 Juni 2010

REKAYASA GENETIK – BAHAYA YANG SEMAKIN MENDEKAT



Pertanian dan budidaya benih adalah sinonim dalam hal bahwa siklus produksi tanaman dimulai dengan benih yang tidak habis. Benih dianggap sebagai unsure inti dari semua sistem pertanian. Kualitas dan karakteristik benih sangat menentukan produktifitas, keberlanjutan dan keberhasilan dari suatu sistem pertanian.


Dengan penemuan yang dilakukan dalam penelitian dan pengembangan, ilmu – dikemudikan oleh beragam motif, telah menentang prose salami dari perkembangan benih dan penggunaannya oleh petani. Terobosan teknologi telah dilakukan dalam metode perkembangbiakan benih secara alami. Teknologi yang tela dikembangkan, tidaklah alami. Penelitian teknologi yang disponsori oleh korporasi – oleh institusi penelitian tanaman resmi dan perusahaan benih, menghasilkan benih-benih yang tidak memperbaiki perkembangan danri perspektif dari sistem pertanian dan keuntungan menyeluruh dari petani. Singkatnya, teknologi produksi benih telah dibuat rancu pada sektor pertanian.


Rekayasa Genetik, mengacu kepada teknologi yang secara buatan memindahkan gen-gen dari satu organisme kepada yang lain, biasanya dari satu spesies ke spesies lain, untuk menghasilkan organisme baru atau sama sekali baru (novel). Teknik ini meliputi manipulasi yang sangat canggih dari materi genetik dan kimia penting secara biologi lainnya, yang merubah DNA dari mahluk hidup. Tanaman transgenik adalah tanaman yang telah direkayasa secara genetik agar mempunyai sifat dari organisme yang bukan kerabat. Beberapa “temuan” bioteknologi yang sedang berjalan atau telah ada, dan mempunyai dampak pada keamanan pangan dan control benih adalah sebagai berikut :


  1. Padi toleran herbisida

Ini adalah tanaman padi yang telah dirubah dengan gen yang dapat bertahan terhadap keracunan herbisida. Perkembangan padi transgenik yang dihasilkan akan tidak terpengaruh oleh formulasi herbisida tertentu dari perusahaan pestisida tertentu yang mengembangkan benih transgenik ini.

  1. Padi Bt

Bt atau Bacillus thuringiensis adalah mikroba tanah yang mengandung racun pembunuh serangga. Bila disuntikkan ke dalam tanaman padi, gennya akan memberikan tanaman padi perlindungan terhadap hama serangga. Bila penggerek batang misalnya, memakan Bt, racunnya dapat menghancurkan dinding usus serangga, sehingga menyebabkan kematian. Bt adalah insektisida mikrobia :

    • Sumber produksinya adalah bekteri
    • Beracun hanya kepada serangga sasaran
    • Tidak membahyakan serangga atau parasit predator
    • Dianggap tidak beracun terhadap manusia, ikan dan ternak
    • Dapat diproduksi dari sisa padi lokal
    • Dapata ditemukan dalam tanah setempat
  1. Padi Hibrida

Hibrida turunan pertama (F1) dari benih padi dihasilkan dari 2 induk murni padi (purebred rice lines). Dalam produksi tanaman normal, petani mengambil benih dari panen dan bila digunakan kembali, ini akan memberikan tampilan yang sama dengan benih asalnya. Dengan menggunakan benih hibrida, sifat tampilan dari benih yang ditanam ulang akan sangat buruk dibandingkan dengan tanaman pertama (seperti, hasil rendah, lebih rentan terhadap hama, bentuknya campuran).

  1. Benih steril

Juga disebut sebagai teknologi “Terminator”, prosedur rekayasa genetik ini membuat tanaman menghasilkan benih yang steril (mandul). Dengan demikian petani tidak dapat menyimpan benih untuk ditanam pada musim berikutnya, tetapi dipaksa harus membeli benih dari perusahaan benih. Perbedaan utama dengan benih hibrida adalah bila benihnya disimpan dan dimaksudkan untuk penanaman berikutnya akan sama sekali tidak berkecambah.


Untuk mengetahui pengaruh dari perkembangan bioteknologi, tentunya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak yang ditimbulkan bagi manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, alangkah lebih bijak jika kita menyikapi perkembangan bioteknologi secara wajar disertai usaha untuk mempelajari bioteknologi yang sedang berkembang sehingga kita akan mengetahui lebih lanjut tentang penggunaan dan dampaknya bagi manusia dan lingkungan.

Senin, 17 Mei 2010

PART 2 : PENGENDALIAN HAYATI (BIOLOGICAL CONTROL)


Pengendalian hayati merupakan pengendalian dengan menggunakan musuh alami hama. Pengendalian ini tidak dimaksudkan untuk memusnahkan hama tetapi hanya menekan populasi hama disekitar aras keseimbangan sehingga tidak merugikan. Apabila hama sebagai inang musuh alami musnah, tentulah musuh alami hama juga ikut musnah.
Apabila musuh alami secara alami tanpa campur tangan manusia mampu mengendalikan hama, maka disebut pengendalian halami (Natural Control). Apabila perlu campur tangan manusia disebut Pengendalian Hayati.
Musuh alami hama adalah organisme hidup yang mampu menjadi musuh hama di alam yang meliputi parasit, predator dan patogen.
1. Parasitoid
Adalah serangga yang hidup menumpang pada atau di dalam tubuh hama dan menghisap cairan tubuh hama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ukuran tubuh parasitoid umumnya lebih kecil dari hama yang merupakan inangnya, fase aktif menyerang parasitoid adalah larva sedang imagonya hidup bebas.
Contoh : Trichogramma japanicum sebagai parasitoid telur Penggerek Batang Padi dan tebu.
2. Predator
Adalah binatang yang memangsa binatang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ukuran predator umumnya lebih besar daripada hama yang merupakan mangsanya, fase aktif menyerang bias larva, nimfa atau imago.
Termasuk predator hama dari golongan :
Reptilia : Ular, merupakan predator tikus.
Aves : Tyto alba,merupakan predator tikus.
Mollusca : Gonaxis kibweziensis dan Euglandia sp, merupakan predator bekicot
(Achatina fullica).
Mamalia : Harimau, Merupakan predator babi hutan.
Arachnida : Lycosa pseudoannulata, merupak predator Tryporiza innota.
3. Patogen
Adalah mikroorganisme penyebab sakit dan meti serangga hama. Termasuk patogen hama adalah bakteri, jamur, virus, nematoda parasitik dan protozoa.
Contoh : Bakteri : Bacillus thuringiensis, pada larva lepidoptera.
Jamur : Metharizium anisopliae, pada Oryctes rhinoceros
Virus : Baculovirus oryctes, pada Oryctes rhinoceros
Namatoda parasitic : Neoplectana glaseri, pada Popillia javanica
Protozoa : Malphighamoeba locusta, pada Locusta sp.

Teknik Pengendalian Hayati :
1. Introduksi
Merupakan kegiatan memindahkan musuh alami dari daerah satu ke daerah lainnya, untuk mengendalikan hama di tempat baru tersebut.
2. Konservasi
Merupakan tindakan untuk melestarikan musuh alami yang ada di suatu tempat dengan memanipulasi lingkungan agar mendukung perkembangannya.
3. Augmentasi
Merupakan tindakan untuk meningkatkan jumlah musuh alami yang ada di alam agar potensinya meningkat. Dalam hal ini diperlukan pembiakkan missal gar diperoleh jumlah populasi yang cukup. Kolonisasi dengan inudasi (pelepasan musuh alami dalam jumlah besar sekaligus) atau inokulasi (pelepasan musuh alami dalam jumlah relative rendah tetapi secara periodik.

Sabtu, 17 April 2010

SOIL


Soil is one of factors that makes a locality-associated condition variable. It’s physical, chemical, and biological properties in relation to the environmental factors e.g., climate, management, etc., influence the soil’s productive capacity. A high crop yield is the result of the favorable interactions of soil properties and environmental factors. An unfavorable soil properties such as high or low pH can affect plant growth.

In assessing the crop suitability in an area; texture, pH, and organic matter are usually used indices. These data may not be enough in explaining frequent deviations from broadly accepted principles. For examples, clay soils are suitable for lowland rice because the soil can hold more water; but te are sandy soils which are known to be as productive for rice as clays soil, if not more. It is, therefore, imperative that a more comprehensive characterization of the soil be done for better understanding of result of field experiments.

Physiographical Data

Information on physiography or topography of the land is as important as the soil data themselves. In many instances, very slight gradations in soil properties cannot be detected by ocular observations of the soils alone. Soil surveyors can only delineate soil unite boundaries within certain limits of scales, after which they are not ble to include all the existing variations. Pedologist normally deduce possible changes in the soil properties by looking for changes in slope conditions.

Measurement of the slope gradient, description of the shape of the slope, and the relative position of the experiment on the particular slope can provide considerable information from which interpretation and extrapolation of experimental result could be based. Slope gradient is indicative of external drainage and subsequently, susceptibility to erosion. It can be measured with two meter sticks a plastic tubing (Raymundo, 1978).

The shape of the slope can indicate te relative hydrologic conditions. On convecx slopes, the lowest section of the slope is steepers, and comparatively has less ponding potentials of the paddies than the middle or the top position of the slope. A straight slope has comparatively uniform ponding potential on the lowest sections, and the least in the highest section of the slope. In unplad areas, the lowest section of the convex slope is more subject to erosion while te lowest section in a cancave slope normally becomes a depositional area. Shapes of slopes are readly discernible by ocular evaluation.




Minggu, 04 April 2010

DAUR ULANG LIMBAH MENJADI KOMPOS



Selama ini limbah hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat khususnya di Indonesia. Padahal dari berbagai macam limbah yang kita temui dapat dihasilkan produk olahan yang dapat memberi keuntungan maupun manfaat bagi pengelolanya, masyarakat juga lingkungan. Proses daur ulang sampah menjadi berbagai macam produk akan mengurangi dampak pencemaran lingkungan yang selama ini semakin mengkhawatirkan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam upaya pemanfaatan limbah adalah dengan mendaur ulangnya menjadi pupuk kompos. Sebelum kita mengetahui proses pembuatan pupuk kompos, perlu diketahui terlebih dahulu berbagai macam limbah yang dapat digunakan untuk pembuatannya. Limbah ini dibedakan menjadi 4 macam, yaitu :
  1. Limbah peternakan (padat, cair)
  2. Pertanian (Jerami, dll)
  3. Pekarangan (Dedaunan, dll)
  4. Rumah tangga (abu, sisa makanan, dll)
Dalam pembuatannya selain menggunakan bahan dari limbah, diperlukan juga bahan penunjang diantaranya : Mikroorganisme pengurai ( biolahang, EM4) , Molases (tetes), Serbuk gergajian, Abu, zeolit/kapur tohor, air. Selain itu, jika diperlukan untuk menambah efektifitas kompos ini, dapat juga ditambahkan dedaunan seperti lamtoro, kleresede, mindi, mimba, dsb.
Standar proses bahan campuran ini adalah 80 % pupuk kandang dan 20 % limbah pertanian, pekarangan, rumah tangga dan lainnya. Proses pembuatannya:
  1. Dibuat campuran pupuk kandang : limbah = 80 : 20 tadi kedalam wadah sampai menjadi satu adonan. (Nb : untuk 2 s/d 2 1/2 ton)
  2. Langkah berikutnyua ambil 1 liter larutan pengurai + 1 liter gula/ tetes + 200 - 300 liter air. Aduk hingga menjadi satu larutan.
  3. Campurkan larutan tadi dengan adonan yang telah dibuat. Perlu diketahui, selama proses pengomposan, kompos harus tertutup (tidak terkena sinar matahari maupun air hujan secara langsung.
Hasil pengomposan dilihat setelah 35 hari. Ciri bahwa kompos tersebut jadi adalah semua bahan terdekomposisi dengan baik dan merata dengan tekstur kompos menjadi remah. Demikian salah satu pemanfaatan limbah menjadi pupuk kompos, selain dapat meminimalisir dampak pencemaran lingkungan, hasil dari kompos ini sangat baik digunakan untuk pupuk yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang kita budidayakan.



Jumat, 12 Februari 2010

CATTLEYA THE QUEEN ORCHIDS



CATTLEYAS and LAELIAS These orchids are the most sumptuous and exotic of all and are chosen for corsages. In nature there are about 50 species each of Cattleya and of Laelia from Central America, growing through the Amazon region to the south of Brazil. Their distinctive flowers and the tendency of these plants to grow in large colonies has meant that they have been vigorously over-collected and the status of many is endangered.

The plants produce strong 'pseudobulbs' topped with one or more leathery leaves.
Each year a dormant bud at the base grows into a new shoot. This thickens to produce the current year's pseudobulb. The flowers arise from the axil of the current year's leaf where a protective sheath usually develops, and come in a range of colours from white and pink to green and purple, depending on the parentage and genera. Some flower twice yearly.

Hybrids.
Multitudes of hybrids have been bred over the years, many of which are easy to grow and easy to flower.

Over 40 other genera of orchid have been cross bred with Cattleyas and Laelias, and notably among them Sophronitis has been used to introduce scarlet and Brassovola for the frilly lip.

Temperature and Humidity.
Minimum night temperatures of 10 -15 C, depending on the plants' origin, are needed, but growth in summer is rapid at temperatures up to 26 C. A humid atmosphere, propelled by a fan is beneficial.

Light requirements.
For best results, the normal maximum is 50% of full daylight or 2000-3000 foot candles.
In hot weather shade sufficiently to ensure that the leaves are cool to the touch.
If you are growing in the home give a bright situation but not direct sunlight, behind a net curtain, from April to September.
These also make good conservatory plants as long as summer shade and good air movement can be provided.

Watering and Fertilising.
From March to September the compost should never be allowed to dry out completely.
Water twice weekly and fertilise fortnightly with a recommended orchid fertiliser.
From October to February, no fertiliser is needed, but water the plants when the compost appears dried out. It is better to underwater as the plants can stand neglect more than over watering!

Compost and potting.
A medium bark mix will do well with added polystyrene spheres or perlite to keep it open. Chopped sphagnum helps retain humidity and some charcoal keeps it 'sweet'. New compost will keep the plant growing for two to three years before it turns acid and the plant needs repotting. Don't repot until the plant roots are likely to go over the sides of the current pot and the best time to repot is when the new roots are just beginning to appear at the new shoot's base.
If the plant has over eight pseudobulbs, the thick rhizome can be cut to give two equal sized plants which can be potted separately.

Jumat, 08 Januari 2010

PENGENDALIAN HAYATI DAN MEKANISMENYA


I. PENDAHULUAN

Pengendalian hayati dilihat dari aspek ekologi adalah suatu fase dari pengendalian alami. Definisi pengendalian hayati adalah perbuatan parasitoid, predator dan patogen dalam memelihara kepadatan populasi organisme pada tingkat rata-rata yang lebih rendah dari pada apabila perbuatan itu tidak ada (DE BACH, 1964).

Menurut Istikorini (2002), mekanisme pengendalian hayati bisa terjadi melalui berbagai mekanisme, diantaranya :

1. Antagonisme

Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai pengaruh merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan berasosiasi dengannya. Hal ini biasanya terjadi ketika terjadi persaingan antar mikroorganisme dalam hal ruang hidup, nutrisi dan cekaman faktor lingkungan.

2. ISR (Induced Systemic Resistance) atau Ketahanan terimbas

Ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah tanaman diinokulasi lebih awal dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen, non patogenik, saprofit) dan elisitor abiotik (asam salisilat, asam 2-kloroetil fosfonat).

3. Proteksi silang

Tanaman yang diinokulasi dengan strain virus yang lemah hanya sedikit menderita kerusakan, tetapi akan terlindung dari infeksi strain yang kuat. Strain yang dilemahkan antara lain dapat dibuat dengan pemanasan in vivo, pendinginan in vivo dan dengan asam nitrit.

2. AGENS HAYATI dan HABITATNYA

Pengertian agens hayati menurut FAO (1988) adalah mikroorganisme, baik yang terjadi secara alami seperti bakteri, cendawan, virus dan protozoa, maupun hasil rekayasa genetik (genetically modified microorganisms) yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pengertian ini hanya mencakup mikroorganisme, padahal agens hayati tidak hanya meliputi mikroorganisme, tetapi juga organisme yang ukurannya lebih besar dan dapat dilihat secara kasat mata seperti predator atau parasitoid untuk membunuh serangga. Dengan demikian, pengertian agens hayati perlu dilengkapi dengan kriteria menurut FAO (1997), yaituorganisme yang dapat berkembang biak sendiri seperti parasitoid, predator, parasit, artropoda pemakan tumbuhan, dan patogen.

Lebih jauh, jika diperhatikan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 411 tahun 1995 tentang pengertian agens hayati maka maknanya menjadi lebih sempurna lagi, yaitu setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan lainnya (Menteri Pertanian RI 1995). Definisi terakhir mempunyai pengertian bahwa agens hayati tidak hanya digunakan untuk mengendalikan OPT, tetapi juga mencakup pengertian penggunaannya untuk mengendalikan jasad pengganggu pada proses produksi dan pengolahan hasil pertanian.

Secara keseluruhan habitat hidup mikroorganisme yang banyak berperan di dalam pengendalian hayati adalah di dalam tanah disekitar akar tumbuhan (rizosfir) atau di atas daun, balang, bunge, dan buah (fillosfir). Mikroorganisme yang bisa hidup pada daerah rizosfir sangat sesuai digunakan sebagai agen pengendalian hayati ini mengingat bahwa rizosfir adalah daerah yang utama dimana akar tumbuhan terbuka terhadap serangan patogen. Jika terdapat mikroorganisme antagonis padd deerah ini patogen akan berhadapan selama menyebar dan menginfeksi akar. Keadaan ini disebut hambatan alamiah mikroba dan jarang dijumpai, rnikroba antagonis ini sangat potensial dikembangkan sebagai agen pengendalian hayati (Weller 1988).




Minggu, 03 Januari 2010

BUILDING SOIL FOR BETTER CROPS

Part 2



When soil organisms and roots go about their normal functions of getting energy for growth from organic molecules they “respire” — using oxygen and releasing carbon dioxide to the atmosphere. (Of course, as we take our essential breaths of air, we do the same.) An entire field can be viewed as breathing as if it is one large organism. The soil is like an organism in another way too — a field also may get “sick” in the sense that it becomes incapable of supporting healthy plants.

The organisms living in the soil, both large and small, play a significant role in maintaining a healthy soil system and healthy plants. One of the main reasons we are interested in these organisms

is because of their role in breaking down organic residues and incorporating them into the soil. Soil organisms influence every aspect of decomposition and nutrient availability. As organic materials are decomposed, nutrients become available to plants, humus is produced, soil aggregates are formed, channels are created for water infiltration and better aeration, and those residues originally on the surface are brought deeper into the soil.

We classify soil organisms in several different ways. Each organism can be discussed separately or all organisms that do the same types of things can be discussed as a group. We also

can look at soil organisms according to their role in the decomposition of organic materials. For example, organisms that use fresh residues as their source of food are called primary (1°), or first-level, consumers of organic materials. Many of these primary consumers break down large pieces of residues into smaller fragments. Secondary (2°) consumers are organisms that feed on the primary consumers them14 selves or their waste products. Tertiary (3°) consumer then feed on the secondary consumers.

Another way to treat organisms is by general size, such as very small, small, medium, large,

and very large. This is how we will discuss soil organisms in this chapter. There is constant interaction among the organisms living in the soil. Some organisms help other organisms, as when bacteria that live inside the earthworm’s digestive system help decompose organic matter. Although there are

many examples of such mutually beneficial symbiotic relationships, an intense competition occurs among most of the diverse organisms in healthy soils. Organisms may directly compete

with each other for the same food. Some organisms naturally feed on others — nematodes may

feed on fungi, bacteria, or other nematodes, and some fungi trap and kill nematodes.

Some soil organisms can harm plants either by causing disease or by being parasites. In other

words, there are “good” as well as “bad” bacteria, fungi, nematodes, and insects. One of the goals of agricultural production systems should be to create conditions that enhance the growth of beneficial organisms, which are the vast majority, while decreasing populations of those few

that are potentially harmful.

SOIL MICROORGANISMS

Microorganisms are very small forms of life that can sometimes live as single cells, although many also form colonies of cells. A microscope is usually needed to see individual cells of these organisms. Many more microorganisms exist in topsoil, where food sources are plentiful, than in subsoil. They are especially abundant immediately next to plant roots, where sloughed off cells and chemicals released by roots provide ready food sources. These organisms are important primary decomposers of organic matter, but they do other things, such as providing nitrogen through fixation to help growing plants. Soil microorganisms have had another direct importance for humans — they are the origin of most of the antibiotic medicines we use to fight various diseases.

Bacteria

Bacteria live in almost any habitat. They are found inside the digestive system of animals, in the ocean and fresh water, in compost piles (even at temperatures over 130°F), and in soils. They are very plentiful in soils; a single teaspoon of topsoil may contain more than 50 million bacteria.

Although some kinds of bacteria live in flooded soils without oxygen, most require wellaerated soils. In general, bacteria tend to do better in neutral soils than in acid soils. In addition to being among the first organisms to begin decomposing residues in the soil,

bacteria benefit plants by increasing nutrient availability. For example, many bacteria dissolve phosphorus, making it more available for plants to use. Bacteria are also very helpful in providing nitrogen to plants. Although nitrogen is needed in large amounts by plants, it is often deficient in agricultural soils. You may wonder how soils can be deficient in nitrogen when we are surrounded

by it — 78 percent of the air we breathe is composed of nitrogen gas. Yet plants as well as animals face the dilemma of the Ancient Mariner, who was adrift at sea without fresh water: “Water, water, everywhere nor any drop to drink.” Unfortunately, neither animals nor plants can use nitrogen gas (N2) for their nutrition. However, some types of bacteria are able to take nitrogen gas from the atmosphere and convert it into a form that plants can use to make amino acids and proteins. This conversion process is known as nitrogen fixation.